Pages

Senin, 25 Agustus 2014

MAKALAH ETIKA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PROBLEM ETIKA DALAM ILMU PENGETAHUAN

MAKALAH
ETIKA PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
PROBLEM ETIKA DALAM ILMU PENGETAHUAN


Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filasafat Ilmu.

                                                         Di Susun oleh:
                                 Nama    :        Ahmad Najahu Taufik          
                                 NIM               :    13410223


                                                 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
SMT Genap 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Pemahaman Etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan ternyata sangat dibutuhkan.    hubungan antara ilmu dan etika akan membangun masyarakat ilmiyah, yang berbudaya ilmu pengetahuan . Dari pokok bahasan itulah maka kita perlu membahas secara lebih dalam tentang unsur-unsur ilmu dan etika seperti kehendak manusia yang bebas, tujuan dari suatu perilaku cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai tujuan, akibat yang ditimbulkan oleh masyarakat, tentang pilihan bebas atau tidak, pemahaman tentang ada batas atau tidak ada batas nilai baik dan buruk itu, konsep tentang kesadaran moralitas adanya hakikat manusia, adanya hakikat tuhan, perlawanan etis terhadap nilai baik dan buruk, dinamika diri manusia, yang mana mencari keseimbangan moral, sifat keras kepala dan hilangnya rasa malu dan dosa dari perilaku manusia.
B.     Rumusan Masalah
Sebagai usaha mengarahkan pembahasan di dalam makalah ini, maka dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa Hakikat ilmu pengatahuan dan pengembanganya?
2.      Apakah yang di maksud dengan etika?
3.      Apa etika keilmuan itu?
4.      Apa saja problem etika ilmu?




C.    Tujuan
Berdasarkan point-point  pertanyaan tersebu diatas maka penulis mempunyai tujuan dalam penulisan makalah ini, yaitu :
1.Memahami Hakikat ilmu pengatahuan dan pengembanganya
2.Memahami arti etika
3.Memahami etika keilmuan
4.Memahami problem etika ilmu yang terjadi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Hakikat Ilmu Pengetahuan Dan Pengembanganya
        istilah ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya diambil dari bahasa arab “alima, ya’lamu, ‘ilman’ ” yang artinya mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa latin scienta dari bentuk kata kerja sciere yang berarti mempelajari dan mengetahui.[1]
        Menurut The Liang Gie beliau menuturkan bahwa ilmu  sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Sedangkan Menurut w. Atmojo (1998: 324) ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu.
        Adapun pengertian pengetahuan itu sendiri, seperti yang dikemukakan surajiyo (2007:62) adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya. Secara khusus Suparlan Suhartono (2005:84) mengemukakan tentang perbedaan antara ilmu dan pengetahuan dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary, Suparlan menjelaskan bahwa pengetahuan adalah seseuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kasadaran, informasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu didalamnya terkandung adanya pengetahuan  yang pasti lebih praktis, sistematis, metodis, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat fisis.[2] Dengan demikian dapat dipahami bahwa pengetahuan mempunyai cakupan lebih luas dan umum dari pada ilmu, oleh karena itu keberadaan ilmu dan pengetahuan hendaknya tidak boleh dipisahkan, sama pentingnya bagi hidup dan kehidupan. Ilmu membentuk daya intelegensia yang membentuk adanya skill, sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas kelimuan yang kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.
        Pengembangan ilmu pengetahuan sendiri disebabkan beberapa faktor-faktor yang menyebabkan berkembang ilmu pengetahuan yaitu antara lain bahasa (komunikasi) dan penalaran (berpikir). Melalui bahasa manusia tidak hanya berkomunikasi antara sesamanya, namun juga dapat memperdebatkan temuan dan pengetahuannya tehadap manusia lainya, manusia juga dapat , menambah dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Pengungkapan dan peninjauan latar belakang dan reasoning dari sebuah informasi dapat dikomunikasikan dan disebarluaskan kepada orang lain, sehingga proses ini dapat saling menguntungkan.
        demikian juga dengan penalaran, manusia dapat mengembangkan pengetahuan dengan cepat dan mantap, dengan upaya pengantisipasian terhadap gejala-gejala yang terjadi, sehingga pengetahuan manusia senantiasa berubah, semakin dinamis, progresif dan inovatif.[3] Dalam hati dan akal manusia terdapat keinginan untuk mengetahui, apabila pengetahuan itu dikumpulkan secara teratur dan sistematis serta dilakukan dengan kesadaran akan pengetahuan tersebut sehingga apa yang sebelumnya tersirat menjadi tersurat.
        Karena kedua faktor utama inilah manusia terus melakukan pengembangan pengetahuan untuk menyempurnakan, memperoleh  kepuasan, kesenangan, dan pemenuhan rasa ingin tahu dengan melakuan pemikiran dan inovasi yang kemudian berusaha memecahkan masalah-masalah yang terjadi di lingkunganya dan mengembangkan kerangka berpikir tertentu untuk menghasilkan ilmu.

2.2              ETIKA
        Istilah etika memiliki banyak arti, secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu ethos atau ethikos, yang mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam pemahaman lain ethos diartikan sifat, watak, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Kata lain yang lebih dekat maknanya dengan etika adalah kata moral, yang dalam bahasa latin disebut dengan istilah mores, yang berarti kebiasaan, watak, kelakuan, tabiat, atau cara hidup. Jadi jika dilihat dari asal-usul kata etika diatas, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[4]
        Adapun dalam kamus bahasa besar bahasa indonesia (1988), etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
1.         Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
2.         Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
3.         Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.[5]
Etika juga disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Etika juga berisikan tentang pemahaman masyarakat mengenai baik dan buruk.



Beberapa ahli lain menyoroti makna etika lebih lengkap dan detail seperti dikemukakan oleh Wiramiharja , beliau mengungkapkan pada dasarnya etika meliputi empat pengertian, yaitu sebagai berikut:
1.      Etika merupakan sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok khusus manusia.
2.      Etika digunakan pada suatu di antara sistem-sistem khusus tersebut, yaitu “moralitas” yang melibatkan makna dari kebenaran dan kesalahan, seperti salah dan malu.
3.      Etika adalah sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-prinsip moral aktual.
4.      Etika adalah suatu daerah dalam filsafat yang memperbincangkan telaahan etika dalam pengertian-pengertian lain[6]
Pengertian etika sebagai ilmu juga merupakan suatu studi yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuanya.
Ahmad Yamin juga mengungkapkan pengertian etika, beliau mengertikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[7]
Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran, rasa yang dapat merupakan perbuatanya. Tokoh seperti Franz Magnis suseno juga mengartikan etika, beliau mengungkapkan etika sebagai usaha manusia manusia untuk mempergunakan akal budi daya pikirannya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup apabila ia menjadi baik. Kemudian etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas. Yang dihasilkanya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.[8]
Berdasarkan penjelas dari beberapa tokoh setidaknya dapat diambil garis merah mengenai definis etika , yaitu bahwa etika pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian dari perbuatan seseorang. Definis terebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologis. Etika dalam domain banyak dikaji dalam dimensi agama, misalnya kajian yang membahas tentang akidah.
2.      Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya seseorang dikatakan etis apabila orang itu telah berbuat kebajikan. Pada bagian ini etika dimaknai sebagai sebagai etiket, kaidah atau akhlak. Etika pada tataran ini sangat diperlukan agar perilaku seseorang lebih baik dan terarah hidupnya sesuai dengan norma atau ketentuan yang ada.
3.      Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan, yang berhubungan dengan masalah kesusilaan. Etika pada kajian filsafat ini sangat menarik perhatian para filosof dalam menanggapi makan etika secara lebih serius dan mendalam.


2.3  ETIKA KEILMUAN
      Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis, etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma-norma itu, mempersoalkan hak dari setiap lembaga seperti orang tua, negara, dan agama untuk memberi perintah atau larangan yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut ketaatan dari lembaga tersebut harus dibuktikan. Dengan demikian, etika menuntut orang bersikap rasional terhadap semua orang. Sehingga etika akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonomi ilmuwan tidak terletak pada kebebasan dari norma dan tidak sama dengan kesewenang-wenangan, melainkan tercapai dalam kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakininya sebagai kewajibanya[9].
      Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pengantar dari pemikiran kritis, yang dapat membedakan apa yang sah dan tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Sehingga, etika memberi kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serta ikut menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
      Dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu pengetahuan yang diperlukan manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan secara lebih cepat dan sebagai sebuah kenyataan bahwa peradaban masyarakat sangat bergantung kepada kemajuan ilmu. Setiap ilmu yang diterapkan dimasyarakat, setiap proses ilmu yang dijadikan sebuah teknologi yang benar-benar akan diterapkan dimasyarakat sangat berkaitan dengan sikap ilmuwan itu terhadap ilmu. Untuk itu tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dijaga dengan baik, dalah hal tanggung jawab akademis ataupun moral.
      Sebenarnya ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau buruk dan pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap dan etika, jalan mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar itu terletak pada sistem nilai pemilik pengetahun.
      Menurut Amsal Bachtiar tanggung jawab keilmuan menyangkut kegiatan maupun pengunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.[10] Ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab, pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan meperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut.
2.4  PROBLEM ETIKA ILMU
Ilmu pengetahuan sangat bermanfaat sekali bagi pengembangan masyarakat jika dilandasi dengan kaidah-kaidah etika yang telah berlaku dan pengaplikasianya disadari sebagai kewajiban dari seorang ilmuwan.
Namun ilmu pengetahuan juga mengalami beberapa masalah dan hambatan dalam penerapan etika keilmuan antara lain:
a)      Ilmu pengetahuan selalu tunduk pada otoritik pada tujuan ilmuwanya, dalam masyarkat modern kadang kriteria kebenaran pengetahuan dipengerahui oleh politik umum kebenaran seperti kebenaran difokuskan pada wacana institusi-institusi yang mengeluarkan, kebenaran tunduk tuntutan pihak yang berperan di politik dan ekonomi, kebenaran dihasilkan dan disebarluasakan dibawah kontrol aparat politik yang eksklusif, dll
b)      Dalam pengembangan ilmu pengetahuan, konsep pengetahuan kemanusiaan  bersifat pribadi dan bertanggung jawab dengan penjelajahan pada batas ambang ketidakpastian, serta pengembangan ilmu pengetahuan sering digunakan untuk memperluas kekuasaan tanpa menhiraukan nilai kemanusiaan misalnya bom atom pada perang dunia ke 2
c)      Dilema manusia, dilema manusia memiliki dua dimensi yaitu pertama bahwa tujuan menghalalkan segala cara yang adalah suatu filsafat tekan tombol dan menjadikan kita tuli untuk penderitaan manusia sehingga menjadi monster perang, kedua dogma bangsa yang menjadikan kita buta .[11]
Dari uraian diatas ternyata bahwa setiap penilaian ilmu dan etika selalu berada pada perbatasan kesalahan dan bersifat pribadi. Ilmu adalah bentuk pengetahuan yang sangat human
                 Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu pengetahuan berbentuk tekhnologi, pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya







BAB III
KESIMPULAN

Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, tentu akan timbul perbedaan penafsiran tentang yang baik dan buruk.
Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak dibarengi dengan etika maka pengembangan etika akan merusak ekosistem manusia bukan menjaga kelangsungan ekosistem manusia, serta teknologi nilai kemanfaatanya akan mejadi tidak berarti, dan bahkan bisa digunakan untuk kepentingan kelompok untuk memperbudak yang lain, maka etika sangat diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.
Maka dengan belajar etika maka diharapkan kita dapat mengikuti dan menjalankan kaidah-kaidah  etika dalam pengembangan dan kehidupan bermasyarakat.







DAFTAR PUSTAKA
Susanto, A. Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitomologis, dan aksiologi .jakarta ( Bumi Aksara: 2011)

Rahmat, Aceng .DKK. Filsafat Ilmu lanjutan. Jakarta (kencana:2011)

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. (Raja Grafindo Persada:2005)

Semiawan, cony DKK. Panorama Filsafat Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman . Jakarta( Teraju: 2007)





[1] Filsafat Ilmu , Drs. A. Susanto, M.Pd. , 2010. Hal. 76
[2] Filsafat Ilmu Lanjutan, Dr. Aceng Rahmat Dkk, 2011, hal.113
[3] Filsafat Ilmu , Drs. A. Susanto, M.Pd. , 2010. Hal. 78
[4] Ibid hal 163
[5] Ibid. hal. 164
[6] Filsafat Ilmu , Drs. A. Susanto, M.Pd. , 2010. Hal. 167
[7] Filsafat Ilmu. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. , 2005, hal 164
[8] Ibid , hal. 167
[9] Filsafat Ilmu , Drs. A. Susanto, M.Pd. , 2010. Hal. 188
[10] ibid. Hal. 189
[11] Panorama filsafat ilmu landsan ilmu sepanjang zaman ,imanuel setawan hal.97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar