Filsafat
Ekstensialisme
Martin Heideger
Disusun oleh:
Nama : Ahmad
Najahu Taufik
Nim/NPK : 13410223/22
Jurusan : PAI-F
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2012-2013
BAB I
A.
Latar Belakang
Filsafat
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada secara
mendalam. sehingga dengan adanya filsafat kita akan tahu akar-akar dari
berbagai macam ilmu lainnya dan juga dasar dari segala yang ada.
Dalamfilsafat,
telahdibahasbahwadalamgarisbesarnyafilsafatterbagidalam 3 cabang.Teoripengetahuan
yang
membicarakantentangcaramemperolehdisebutdengansistematika epistemologi,
dan yang membicarakantentanghakikatpengetahuanadalahsistematika ontologi,
sedangkan yang
membicarakangunaataumanfaatpengetahuanadalahsistematika axiologi.
Filsafatsebagaiilmupengatahuan yang
kitapelajarisekaranginiseringnampaksukar,
karenamemangmengandungpandangan-pandangan yang muluk-muluk yang
dalam-dalamdansukardimengerti.Akan
tetapihalinitidaklahberartibahwafilsafatitulalutidakadaartinyabagikita,
justrusebaliknya.Karena yang dipersoalkandalamfilsafatituialah:
dirikitasendiri. Filsafatadalah “eksistensial” sifatnya,
erathubungannyadenganhidupkitasehari-hari,
denganadanyamanusiasendiri.Hidupkitasendirilah yang
memberibahan-bahanuntukdirenungkan.Filsafatberdasardanberpangkalpadadirikita
yang konkrit, padadirikita yang hidup di
dalamduniadengansegalapersoalan-persoalan yang kitahadapi.
Apabila di dalamteoriterdapatteori yang
macam-macamdansukarmakahalitumaksuddantujuannyatidaklainhanyainginmenerangkankenyataan
yang konkritdan real yang kitaalami di duniakita.
Padawaktusekaranginimakinbanyakdititikberatkanpadasifat eksistensial bahwakitadalamberfilsafat
harusberpangkalpadasituasidirikitasendiri di
dalamduniaini.Sifateksistensialinilah yang dijadikandasardalamaliranfilsafat
“Eksistensialisme” yang berkembangpadaabad ke-20 ini.
B.Rumusan
Masalah
1. Pengertian Filsafat Eksistensialisme
2. Sejarah Filsafat Eksistensialisme
3. Orientasi Filsafat dan Corak Pemikiran Eksistensialisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian filsafat
eksistensialisme
Dari sudut etimologi eksistensi berasal dari kata eks yang
berarti diluar dan sistensi yang berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara
luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri sendiri sebagai dirinya
sekaligus keluar dari dirinya.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang
menekankan pada manusia, dimana manusia dipandang sebagai suatu mahluk yang
harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran.
Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara
manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat
dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum
selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme ini saya
kita ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan
dengan manusia dan keberadaannya didalam lingkungan sosial), antropologi
(berkaitan anatar manusia dengan lingkungan budayanya).
B. Sejarah Filsafat Eksistensialisme
Sifat materialisme ternyata merupakan pendorong lahirnya
eksistensialisme. Yang dimaksud dengan eksistensi ialah cara orang berada
didunia, kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pada pohon atau
batu. Untuk menjelaskan arti kata “berada” bagi manusia, aliran ekstensialisme
mula-mula menghantam matrialisme.
Eksistenlialisme menyatakan bahwa cara berada manusia dan benda
lain tidaklah sama. Manusia berada didunia begitu juga dengan hewan dan
tumbuhan juga. Akan tetapi, cara beradanya tidaklah sama, manusia berada
didalam dunia ia mengalami beradanya didunia itu, manusia menyadari dirinya
berada didunia. Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti apa yang
sedang dihadapinya itu, manusia mengerti guna pohon, batu , dan salah satu
diantaranya ialah mengerti bahwa hidupnya mempunyai arti, artinya ialah bahwa
manusia adalah subyek, subyek artinya yang menyadari, yang
sadar barang-barang atau yang disadarinya disebut obyek.
eksitensialisme juga lahir sebagai reaksi terhadap idealisme.
Materialisme adalah pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrem. Keduanya
berisi benih kebenaran, tetapi keduanya juga salah. Eksistensialisme ingin
mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu.
Letak kesalahan idelisme ialah karena memandang menusia hanya
sebagai kesadaran, sebaliknya materialisme hanya melihat manusia sebagai obyek.
materialisme lupa bahwa barang di dunia ini disebut obyek lantaran adanya
subyek . dalam pada itu, sesuatu yang aneh terjadi, matrealisme dan idealime
sama-sama salah, tetapi dapat tersebar luas, memperoleh banyak penganut,
memikat hati banyak orang. Hal itu memperlihatkan bahwa sukar bagi manusia
untuk mengerti dirinya sendiri. Rupanya manusia itu semacam rahasia bagi
dirinya.
Soren kierkegard ( 1813-1855)
Menurut kierke garrd, filasafat tidak merupakan suatu system,
tetapi suatu pengekspesian eksistensi individual. Yang sejatinya bereksistensi
ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk
bereksistensi atas nama saya. Jadi, manusia tidak pernah hidup sebagai “aku
umum” tetapi sebagai “aku individual” yang sama sekali unik dan tidak dapat
dijabarkan kedalam sesuatu yang lain.
Pada akhir abad ke-19 karya-karya kierkegarrd mulai diterjemahka
kedalam bahasa jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk
filasafat abad ke-20 yang disebut eksistensialisme. Karenanya sering disebut
bahwa kiergarrd adalah bahwa filsafat eksistensialisme.
Jean paul sarte ( 1905-1980)
Pada tahun 80, dunia filasafat dikagetkan oleh berita meninggalnya
seorang filosof besar francis yaitu jean paul satre, dialah yang menyebabkan
eksistensialisme menjadi tersebar.
Bagi sartre, eksistensi (wujud nyata) manusia mendahului esensinnya
(hakikat) berbeda dari tumbuhan, hewan dan bebatuan yang esensuinya mendahului
eksisteninya.
Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan
yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan
manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai
makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada
diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
C. Orientasi filsafat dan corak
pemikirannya.
Jean paul Sartre, sebagai seorang filosof, tidak dapat dipisahkan
dengan posisinya sebagai seorang sastrawan, karena sifat ganda pada dirinya
sudah demikian manunggal. Ini dibuktikan dalam mengungkap filsafatnya sering
menggunakan drama, roman, dan novel.
Meskipun sejak kecil dia hidup dalam lingkungan yang religius, akan
tetapi kebalikannya justru anti agama dan tuhan. Dia mengembangkan filasafatnya
dengan cara yang atheis, sehingga buku satre “ critique of dialectical reason”
secara eksplisit bertujuan mengkombinasilan marxisme dan ekstensialisme.
Kultur filsafat dan corak pemikiran Sartre tidak sepenuhnya
dipengaruhi tradisi continental, rasional dan idealisme yaitu dari diates
sampai kant, dan dari hegel sampai phenomenology hussel, serta Heidegger
sebagai pemikir besar, tidak sekaligus membangun filsafatnya, akan tetapi
melalui tahap demi tahap sampai kedudukannya mantap sebagai seoarang filosof
besar. Hal tersebut mempengaruhi perkembangan karirnya dalam mencari identitas
yang khas, meskipun dia bertolak dari Heidegger dan Husserl, tahap-tahap
tesebut sebagai berikut:
a. tahap pertama :
tahap ini meliputi kandungan-kandungan phenomenology yang dikaitkan
dengan psikologi yaitu melalui Heidegger dan Husserl. Dia menerangkan perbedaan
antara persepsi dan kesadaran yang imajinatif, dengan pertolongan konsep
husserl mengenai kesadaran yang intensional. Menurut pendapat Sartre menggunakn
imajinasi adalah menemukan bahwa angan-angan bukanlah elemen dari kesadaran :
akan tetapi ragam.
b. tahap kedua :
Karya utamanya “being and nothingness” dan berorientasi pada
pandangan ontology yang cukup radikal. Sartre menggunakan dari analisa
Heidegger tentang “ das in” dan memperkenalkan posisi kesadaran
manusia.
Meskipun dalam tahap ini pandangannya yang khas adalah ontology
akan tetapi disamping pengaruh heiddegger, pengaruh negel juga tak dapat
diabaikan pengaruh ini tampak, ketika Sartre mencoba menafsirkan
konflik-konflik antara : ada individu-orang lain – melihat-dilihat-ada melihat-dilihat.”
Dalam tahap ini muncul buku yang berjudul“ eksistensialisme dan humanisme “
anatara tahap pertama dan tahap kedua tidak ada perbedaan yang mencolok. Yang
perlu dicatat , bahwa ciri phenomology Sartre selalu menganalisa kesadaran yang
menglikupi ragam-ragam tingkah laku manusia “cinta, benci, sadisme, masochisme
dan acuh tak acuh. Sedangkan ontologinya bercirikan radical-dualisme.
c. tahap ketiga
pada tahap ini ada perubahan dalam pendangan Sartre akan tetapi
Tidak begitu berartri dalam masalah kebebasan. Dia agak condong kepada maxisme.
Dalam tahap ini karyanya yang penting adalah critique de la raison dialectique.
“Marxisme adalah filasafat yang mengerti zaman kini, tetapi
marxisme harus belajar kepada eksistensialisme , bahwa individu konkret itu
lain dengan kolektivitas” serta memandang individu sebagaio kebebasan.
Sartre merupuakan filosof yang menjadikan permasalahan kebebasan
manusia sebagai tema sentral, terutam dalam karya being and nothingness.
Fancies jenson, seorang pengikut Sartre, pernah mengatakan bahawa buku ini
boleh dianggap sebagai une ontology de la liberte yaitu yaitu ajaran yang
memberi dasar pada kebebasan.
Dalam pemikiran tentang kebebasan ada satu tahap-tahap pergeseran
orientasi kebebasan menuju pembebasan” akan tetapi tetap juga mempertahankan
sifat dan coraknya yang ekstrim dan radikal.
Secara garis besar mengenai masalah tersebut diatas dalam tiga
tahap.
1. mendewa-dewakan kebebasan .
Pada masa mendewa-dewakan kebebasan ini dia mempertahankan
pendapatnya tersebut dalam teori saja, sebab pada masa itu seluruh perhatiannya
didasarkan kepada yag dimutlakan semata. Dia mengatakan bahwa kebebasan adalah
sumber satu-satunya nilai. Dalam mendewa-dewa kebebasan, dia merumuskan dengan
kalimatnya yang terkenal: “ man is free, or rather man is freedom”. Kebebasan
adalah mencakup seluruh eksistensi manusia, tidak dan batas untuk kebebasan,
kebebasan itu sendiri menentukan ke bebas, karena kebebasan dimutlakan maka
akibat yang paling adalah penolakan kepada tuhan, serta akibat etis yang
ditimbulkannya adalah nihilisme.
Kebebasan manusia yang dimutlakan sepanjang ajaran tersebut dia
pegang sama. akhir hayatnya dan dai juga mempertahankan sifat dan coraknya yang
atheis. Sehingga perkataan kunci yang terdengar : “hanya tinggal pilih “ kata
Sartre “manusia yang bebas atau mengakui tuhan sebagai sumber nilai”. Menurut
Sartre, sebagai konsekuensi kebebasan mutlak, maka tuhan itu tidak ada.
2. memperhatikan kebebasan
pada tahap kedua ini dia memperhatikan kehidupan sehari-hari yang
lebih praktis yang dihadapi manusia sebagai kebebasan. Dan ternyata adalah
hal-hal yang mengurangi kebebasan seseorang, dalam hal ini disebut “faktisitas”
menurut Sartre faktisitas antaranya adalah adanya orang lain, tempat tinggal,
maut, dan lingkungan social.
Oleh sebab itu, jika kebebasan dipahami sebagai penghindaran dari
kontingensi (kekenian), dan dari kenyataan justru ada sustu kenyataan yang
terlepas dari kenyataan itulah faktisitas dari kebebasan.
3. mempraktekan kebebasan
setelah melewati tahap diatas, secara pribadi Sartre Tidak
mempertahankan faham kebebasan teori saja. Dan yang paling menyolok, tidak
pernah dia segan-segan menarik segala konsekuensi praktis dari anggapannya
tentang kebebasan. Namun yang perlu diperhatikan dalam masalah ini, bahwa
pembebasan dalam praktek bukan tahap tersendiri dalam kehidupan Sartre,
melainkan suatu tandensi umum yang terdapat dalam seluruh kehidupannya.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa dia tidak pernah mempraktekkan
dalam pandangannya yang berubah terhadap ketuhanan atau mengurangi tekanan
pesimis mangenai ubungan antar manusia. Hal ini tidak dapat diharapkan lagi,
karena ketiadaaan telah merenggut padanya.
BAB
III
KESIMPULAN
Esensi dari eksistensialisme adalah keberadaaan manusia didunia ini
yang berbeda yang keberadaannya berbeda dari hewan dan tumbuhan, karena hanya
manusialah mempunyai akal (mengerti).
BAB
IV
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, bila ada kesalahan
atau kekurangan dalam bentuk apapun kami segenap pemakalah mohon maaf.
0 komentar:
Posting Komentar